Lanjut ke konten

2 bulan menjelang tahapan pencalonan anggota DPR/D

Februari 9, 2023

Ratusan ribu orang sedang menunggu kepastian tentang sisyem pemilu. Terbuka/tertutup

Tentang kawan memilih jalan sunyi

Juni 5, 2022

Persis setelah mulai menuruni tangga umur, tiba pada fase mendalami dan mengatasi lingkungan dimana kaki berpijak. Kutemukan yang tidak kujumpai sebelumnya. Tiba-tiba waktu mempertemukanku dengan lelaki yang jauh lebih muda, badan penuh tato, rambut panjang, bersih dan telah menyelesaikan pengembaraannya. Dari urusan perkelahian sampai urusan gemerlap uang. Berhenti pada satu tempat, sunyi namun damai. Dunia sufi…

B

Mei 17, 2021

Mendorong informalitas PRT menjadi sektor formal

Mei 9, 2021

Jutaan buruh migran yang bekerja di negeri tetangga semisal di Malaysia, Singapura, Hongkong pada pada sector pekerja rumah tangga (domestic worker). Di negara-negara tersebut, pekerja rumah tangga sudah diangap menjadi sektor formal bukan lagi dianggap sebagai sebagai sektor informal. Buruh migran dari Indonesia yang bekerja pada sektor rumah tangga sudah disebut sebagai pekerja (worker).  Di Indonesia pekerja rumah tangga  (PRT)  belum dianggap sebagai pekerja, namun seringkali disebut sebagai pembantu atau asisten rumah tangga.

Pengakuan secara formal penyebutan sebagai Pekerja rumah tangga baru terjadi di tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang perlindungan pekerja rumah tangga. Jauh sebelumnya,  pekerja rumah tangga sering disebut oleh masyarakat sebagai asisten rumah tangga, pembantu rumah tangga. Dalam hal ini terdapat kemajuan dari sisi pengakuan akan keberadaan pekerja rumah tangga sebagai sebuah profesi/ pekerjaan[1].  Dengan demikian Pemerintah sudah mempunyai kemauan dalam bentuk regulasi untuk melakukan perlindungan terhadap keberadaan pekerja rumah tangga (PRT), tapi apakah itu cukup?.  Tentunya belum, secara jelas dalam Permenaker No.2 tahun 2015 tersebut tidak menempatkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003  tentang ketenagakerjaan sebagai konsideran. Pada pengertian yang tertuang dalam UU No.13 tahun Pasal 1 angka 3 jelas menempatkan PRT masuk dalam kategori sebagai pekerja/buruh.

Di Indonesia, Pekerja Rumah Tangga masih dianggap sektor informal. Sedangkan di Hongkong, Singapura, Malaysia, Pekerja Rumah Tangga sudah dikategorikan sebagai sektor formal. Buruh migran yang dinegeri tetangga yang bekerja pada sektor rumah tangga mempunyai kebanggaan dengan profesinya. Mereka punya serikat/perkumpulan, beraktifitas baik social, budaya maupun kemanusiaan lainnya. Sementara di tanah air, profesi menjadi pekerja rumah tangga dianggap pekerjaan yang rendahan dan cenderung dilecehkan. Padahal secara budaya  tidak banyak perbedaan dengan negeri-negeri tetangga.  Pun kalo dilihat lebih jauh, Filipina sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tahun 2011 tentang pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga. Sehingga profesi menjadi pekerja rumah tangga bagi warga Filipina adalah pekerjaan formal. Buruh migran dari Filipina punya status yang baik, yang dilindungi oleh negaranya.

Situasi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia

Ada lebih dari 10,7 juta pekerja rumah tangga berdasarkan survei yang dilakukan ILO[2]. Jumlah yang sangat besar sebagai sebuah serapan tenaga kerja. Sayangnya angka tenaga kerja produktif tersebut merupakan sektor informal. Apa yang terjadi jika jutaan PRT menjadi tenaga kerja formal?. Jika PRT menjadi sektor formal maka akan terjadi perubahan besar dalam ekonomi kita. Bayangkan jika PRT bisa mengakses perbankan dan lembaga kredit karena mereka diakui sebagi tenaga kerja formal maka akan terjadi perubahan tingkat penghidupan PRT dan keluarganya serta menjadi pemantik tumbuhnya ekonomi dalam skala luas.

Jika PRT sebagai sektor formal akan timbul kebanggaan bagi para pekerjanya. Sama seperti kita melihat buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga. Mereka tidak merasa malu atau minder disebut sebagai domestic workers. Karena mereka tahun mereka pekerja bukan pembantu (servant).

 Sayangnya PRT di Indoensia masih sering disebut pembantu/asisten rumah tangga. Mereka tanpa perlindungan hukum karena tidak dikategorikan sebagai pekerja/buruh dalam perspektif UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Keberadaan PRT selalu dibutuhkan oleh orang dengan status ekonomi memengah keatas. Mereka yang sibuk bekerja perkantoran tentunya tidak lagi punya waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, mengurus anak, mengurus orang tua, mengurus orang dengan kebutuhan khusus, mengurus taman, merawat mobil, mengurus hewan peliharaan dll. Jadi semakin kaya seseorang makin membutuhkan jasa Pekerja Rumah Tangga. Jenis pekerjaan ini akan selalu ada dan selalu dibutuhkan. Bahkan sejak dulu sampai sekarang jenis pekerjaan ini eksis sebagi sebuah pekerjaan dengan sebutan yang berbeda.

Sayangnya PRT selalu ditempatkan sebagai sektor informal. Tanpa perjanjian kerja yang jelas, tanpa gaji yang jelas, tanpa jam kerja yang jelas. Padahal keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga  semakin hari dibutuhkan keterampilan semakin tinggi/sulit. Seiring dengan tuntutan majikan/ pemberi kerja karena fasilitas dan kebutuhan mereka semakin tinggi kualitasnya. Misalkan rumahnya semakin bagus dengan perabotan yang semakin tinggi nilainya, bajunya butuh perawatan khusus, anak-anaknya semakin pintar sehingga menuntut PRT juga mengikuti dinamika tersebut.

Tinjaun Hukum Pekerja Rumah Tangga

Perlindungan hukum sebagai pekerja rumah tangga hanya tercantum dalam Permenaker No.2 tahun 2015 tentang perlindungan pekerja rumah tangga. Namun sebagai warga Negara ada serangkain hukum yang bisa dijadikan dasar perlindungan terkait dengan PRT sebagai warga Negara. Sementara sistem UUK tidak menjangkau para PRT, namun sebenarnya sejumlah undang-undang nasional lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski masih secara terpisah dan terbatas. Undang-undang ini antara lain meliputi: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bagaimana dengan perlindungan hukum atas profesi PRT? Jelas Undang-Undang Ketenagakerjaan belum menjangkau mereka.

Kerentanan relasi kerja antara PRT dengan pemberi kerja/majikan akan menyebabkan jenis pekerjaan ini menjadi pekerjaan yang rendahan. Padahal Negara juga semakin kesulitan menyediakan lapangan kerja formal. Belum lagi tantangan pertumbuhan tenaga kerja produktif dalam beberapa puluh tahun kedepan. Sehingga mendorong PRT menjadi sektor formal adalah pilihan yang tepat.

Perlu tindakan edukasi, monitoring dan pro justicia

perlu upaya edukasi tentang peran penting PRT dan kebanggan menjadi PRT bagi PRT dan majikan.  Kerja sama dan relasi saling membutuhkan dan menghormati antar keduanya perlu dilakukan dalam skala yang massif.

Pemerintah perlu melakukan monitoring relasi kerja antara PRT dan majikan. Instrumen yang meski mengambil peran penting adalah Kementrian Tenaga Kerja, melibatkan Dinas tenaga kerja Provinsi, Dinas tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Desa/keluarahan.  Lantas Desa/Kelurahan mengajak apparatus perangkatnya terlibat dalam perlindungan dan pemberdayaan PRT.

Hal ini bisa dilakukan mulai darai awal keberangkatan warga desa yang hendak kerja ke kota. Desa melakukan pendataan dan pembekalan keterampilan untuk PRT. Perusahaan penyedia jasa PRT bisa bekerja sama dengan Desa untuk rekrutmen dan pembekalan. Bertemunya kemandirian Desa (UU Desa) dan Perusahaan Jasa Penyedia Jasa Tenaga Kerja  (melalui formalisasi PRT) memudahkan dalam monitoring dan tindakan pro justicia.

Sementara tindakan pro justicia dalam relasi kerja PRT- Majikan harus diintegrasikan kepada Kementrian Tenaga Kerja dan /Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota. Sebab, setelah PRT menjadi seKtor formal maka keberadaanya menjadi kewenangan Dinas Tenaga Kerja Kab/Kota.  Maka jika terjadi perselihan secara otomatis masuk dalam ranah penyelesaian hubungan ketenagakerjaan (mungkin diperlukan istilah khusus terkait hal tersebut).

Hal-hal dasar yang perlu diatur

Setelah PRT berubah menjadi sector informal menjadi sector formal maka perlu pengaturan dalam hal :

1. Perjanjian Kerja

Bahwa syarat yang perlu diatur bahwa PRT dan Majikan perlu adanya perjanjian kerja adalah sebuah keharusan. Sebagai sudah tercantum dalam Permenaker No.2/2015 maka hal tersebut harus ditingkatkan. Semisal Pemerintah bisa menyediakan lembar Formulir yang dua belah pihak tinggal membubuhkan tanda tangan, sehingga memudahkan dan membantu hal-hal teknis

2. Upah.

Standar pengupahan dalam hubungan industrial yakni mengunakan standar UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten). Dalam perhitungan UMK didalamnya terdapat komponen makan, sewa rumah/kos, kebutuhan pendukung lainnya.

Maka dalam penghitungan upah minimal PRT bisa memakai pendekatan penghitungan UMK. Misalkan karena tempat tinggal dan makan sudah disediakan oleh majikan maka komponen tersebut bisa ditiadakan sehingga upah minimum PRT menjadi lebih rendah dari UMK. Tentunya hal ini bisa dilakukan pendalaman lebih jauh

3. Jaminan Kesehatan

PRT yang sehat terus menerus akan menguntungkan dua belah pihak. Sehingga kewajiban minimal majikan adalah menyertakan PRT dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional – BPJS mandiri akan memudahkan majikan sekaligus kepastian bagi PRT manakala sakit.

4. Pelibatan Desa dan Kelurahan

Pelibatan Desa dalam perlindungan dan pemberdayaan PRT menjadi penting. Desa telah bergerak menjadi institusi dengan dana dan program yang terus menerus di dukung oleh Pemerintah Pusat. Harapannya Desa akan menjadi Desa yang berdaulat. Dari Desa rekrutmen PRT berawal. Jika Desa terlibat sejak awal dalam rekrutmen, perlindungan dan pemberdayaan maka memudahkan relasi PRT-Majikan dengan keluarga PRT yang di desa.

Sementara Aparatus kelurahan yang berada di perkotaan dalam dilibatkan dalam hal monitoring. Jika terjadi perselisihan ataupun tindakan diluar hukum maka apparatus keluarahan ( termasuk RT RW ) bisa menjadi mediator. Tentunya perlu dilakukan pembekalan dan pelatihan dalam hal tersebut.

Penutup

Srimulat sebagai group lawak paling legendaris telah memberikan pesan yang kuat kepada para penontonnya dalam kemasan tawa. Sebagai group lawak, Srimulat telah memuliakan para batur (PRT) diatas panggung. Menjadi batur bukanlah sebuah kekalahan nasib. Srimulat menempatkan PRT menjadi actor penting. Dalam komedinya PRT dan Majikan mampu berdialog seputar masalahnya dengan tawa yang menghibur. Srimulat memberikan pesan bahwa Majikan dan PRT adalah sebuah dinamika kebersamaan yang tidak perlu harus dihadap-hadapkan. Semua masalah selesai dalam ruang keluarga dengan tawa dan canda.

Tulisan ini telah dipresentasikan di  ACARA BADAN LEGISLASI DPR RI

Dan telah dipublikasikan di https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200622-044521-6129.pdf


[1] Pasal 1  Permenaker No.2 tahun 2015. Pekerja Rumah Tangga adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain.

[2] Lihat penelitian/disertasi  “Perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga ditinjau dari perspektif keadilan”, Sakka Pati, hal 15.

Menepi

Mei 9, 2021

Lama aku menyusur sungai bersama, entah berapa tahun sudah. Rakit itu sudah mulai lapuk kawan. Menepilah, menuju ke hutan, bersama kayu kita buat kapal

9 Mei 2021

Pilkada tanpa Uang Mahar dan nasib demokrasi lokal

April 6, 2015

Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada Desember 2015 jelas menghemat biaya dari sisi penyelenggara melalui APBN/APBD. Namun apakah pilkada serentak dipastikan akan menghemat biaya dari para calon Kepala Daerah dan pasangannya?. Rasanya ini pertanyaan serius yang harus diajukan. Pertanyaan ini berdasar pada hipotesa bahwa persoalan korupsi yang melibatkan para Kepala Daerah dikarenakan biaya yang dikeluarkan oleh para calon Kepala Daerah sewaktu pemenangan Pilkada tidaklah sedikit. Sehingga para Kepala Daerah disinyalir melakukan praktek korupsi untuk “mengembalikan” biaya yang telah mereka keluarkan. Buku “Corrupt Cities, A Practical Guide To cure an Prevention” tentang Model dan cara KKN memberikan pelajaran bahwa Kepala Daerah punya peluang besar melakukan tindak korupsi. Pertama, perembukan secara diam-diam dengan tukar menukar informasi pendahuluan antara pengusaha dan pejabat daerah (pemerintah dan anggota DPRD) sebelum sebuah proyek diumumkan, dengan perjanjian adanya bagian tertentu yang diperoleh pejabat bersangkutan dari keuntungan yang diperoleh pengusaha. Kedua, dengan imbalan tertentu pejabat daerah memberikan informasi sepihak rencana proyek kepada pengusaha tertentu, sehingga yang bersangkutan dapat menyiapakan syarat-syarat lebih dulu. Ketiga, pembuatan spesifikasi lock out oleh rekanan tertentu sehingga perusahaan laian dipastikan kalah. Keempat, permainan jaringan kartel yang melibatkan perusahaan-perusahaan tertentu saja, dengan mengggunakan empat cara: (1) Cover Bidding yakni beberapa perusahaan mengajukan penawaran pura-pura dengan harga tinggi agar mereka kalah dan anggota kartel tertentu yang menang.Ada kompensasi tertentu bagi perusahaan yang kalah. (2) Bid Supression yakni suatu perusahaan mengajukan pengunduran diri setelah masuk kualifikasi agar anggota kartel tertentu yang memenangkan proyek (3).Bid Rotation yaitu menentukan giliran pemenang tender diantara anggota kartel dengan cara menyuap. (4) Market Division yaitu pembagian pasar ke dalam wilayah dan bidang-bidang yang bisa dipegang oleh setiap anggota kartel.

Di Banten, akan diselenggarakan Pilkada di Empat daerah yakni Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan merujuk pada revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Di dalam revisi undang-undang tentang pemilihan Kepala Daerah terdapat beberapa pasal yang bersifat “progresif”. Semisal setiap calon harus mengundurkan diri dari Pegawai Negeri Sipil, mengundurkan diri dari jabatannya (petahana) serta tidak ada hubungan kepentingan kekeluargaan dengan incumbent (ayah, ibu, anak, menantu, dll). Ketiga hal tersebut hendak mengatur agar birokrasi dan kekuasaan petahana tidak digerakkan untuk pemenangan calon tertentu. Selain ketiga hal tersebut revisi Undang-Undang tersebut juga melarang partai politik untuk melakukan pungutan biaya pendaftaran bagi para calon Kepala Daerah yang hendak mendaftar lewat pintu partai politik. Bahkan sangsi terhadap partai politik yang nekad melakukan pungutan biaya pendaftaran akan dilarang mengajukan calon untuk pilkada berikutnya.
Secara sekilas revisi Undang-Undang tersebut mencoba mendekatkan “demokrasi partisipatif” dalam ruang lingkup pemilihan kepala daerah. Namun apakah benar lewat pemilihan kepala daerah serentak dengan kerangka hukum yang baru (revisi UU No.1Tahun 2015) akan melahirkan demokrasi partisipatif?. Sebuah demokrasi yang melibatkan warga negara karena digerakkan oleh ide dan gagasan?. Bukan mobilisisasi pemilih yang digerakkan semata-mata oleh politik uang, ikatan kekeluargaan dan SARA?.
Dalam pemahamam penulis, bahwa ide dan gagasan yang besar juga harus hidup di alam lingkungan yang memungkinkan ide gagasan tersebut berkembang tumbuh subur. Sebuah benih unggulan akan menghasilkan tanaman yang baik manakala hidup dilingkungan yang subur serta dirawat dengan baik.

Dalam Pilkada, pintu pendaftaran yang paling memungkinkan adalah melalui jalur partai politik. Meskipun terbuka melalui jalur independen, nyatanya sepanjang sejarah pilkada jalur independen kurang pesertanya kurang dari 5%. Apalagi didalam aturan yang baru, jalur independen jumlah prosentase dukungannya dinaikkan antara 6-10% dari jumlah penduduk. Kerumitan administrasi dukungan jalur independen nampaknya akan membuat jalur ini sepi peminat.
Praktis partai politik merupakan jalur yang paling realistis ditempuh. Sayangnya terdapat “beberapa kerumitan” dalam jalur Partai Politik. Kerumitan-kerumitan tersebut yakni pertama, sedikit Partai politik yang mampu mencalonkan sendiri dikarenakan syarat minimal kursi adalah 20% dari jumlah DPRD atau 25% dari perolehan suara sah. Aturan main ini memaksa hampir semua partai akan mencalonkan para “jagoan”nya secara koalasi. Di Banten tidak ada Partai Politik yang bisa mencalonkan pasangan kepala daerah sendirian.

Di jalur pendaftaran partai politik inilah sering dikenal dengan istilah “uang mahar”. Sebuah istilah yang dilekatkan pada momentum perkawinan. Konon, 5 tahun yang lalui nilai uang mahar untuk sebuah kursi partai politik di DPRD tingkat Kota/Kabupaten berkisar antara 300 juta sampai 500 juta bahkan bisa lebih. Sehingga pasangan calon menghabiskan biaya mahar sedikitnya diangka 5 Milyar. Tentu saja data tersebut sulit diverifikasi namun publik meyakini kebenarannya. Bahkan sinisme publik terhadap partai politik salah satunya merupakan pihak yang dianggap menikmati keuntungan dalam pesta demokrasi pemilihan Kepala Daerah.

Tidak hanya “Uang Mahar”, seringkali calon Kepala Daerah juga harus menyediakan biaya pemenangan Kepala Daerah lainnya yang terdiri dari biaya sosialisasi dan kampaye, biaya saksi di setiap TPS, biaya sengketa di Mahkamah Konstitusi. Tentunya jika di total konon setiap calon Kepala Daerah yang akan berlaga dalam pesta demokrasi lokal akan menghabiskan sekurang-kurang diangka minimal 30 Milyar bahkan lebih. Padahal pendapatan resmi kepala daerah selama 5 tahun kurang dari angka tersebut. Hal ini tentu tidak logis, namun praktek tersebut terjadi. Dan variabel pengeluaran terbesar pada item kampanye dan biaya politik uang. Soal politik uang tentu sulit dibuktikan secara hukum. Sama seperti kentut, baunya ada tapi sulit untuk dibuktikan.
Lantas kenapa biaya politik yang dikeluarkan sang calon nampaknya sangat besar? Dan sering kali tidak logis. Jawabannya terletak pada landscape demokrasi kita. Demokrasi kita belumlah hadir dengan wajah demokrasi partisipatif. Demokrasi kita digerakkan bukan oleh kesadaran yang lahir akibat dialektika politik seperti perdebatan program partai, program calon maupun idiologi dominan vs ideologi alternatif. Demokrasi kita masih digerakkan oleh persaudaraan/kekeluargaan, ikatan suku, ras dan golongan, sentimen agama. Dan jika hal-hal tersebut tidak cukup maka uang dianggap jalan terbaik untuk membuat sang kuasa suara (rakyat) datang ke TPS dan memilih. Tak cukup sampai disitu, bahkan hadiah akan diberikan jika sebuah TPS atau wilayah menang telak untuk calon tertentu. Toleransi terhadap politik uang ini terjadi semenjak reformasi dan bahkan bertambah lebih banyak jika Pilkades juga dihitung sebagai pesta demokrasi lokal. Maka pertanyaan yang harus diajukan sebagai bahan evaluasi atas praktek politik uang yakni “apakah ada daerah yang berhasil mengalami kemajuan dibawah pimpinan Kepala Daerah yang berhasil memenangkan Pilkada dengan money politic? Jawabannya bisa ada bisa juga tidak namun secara rasional sulit untuk ada. Justru yang kita temukan adalah banyaknya Kepala Daerah yang terlilit kasus korupsi.
Lantas apakah kita bisa keluar dari jeratan politik uang dalam Pilkada serentak? Bisa saja terjadi jika terdapat sebuah lompatan kesadaran secara drastis dimasyarakat. Kesadaran bahwa biaya politik yang dikeluarkan oleh sang calon akan berdampak pada independensi kebijakan Kepala Daerah. Makin murah biaya yang dikeluarkan sang calon makin memudahkan bagi calon terpilih untuk memjaukan daerahnya karena tidak terbebani dana pengembalian kampanye maupun dana konsensi dari pemodal yang disumbangkan sewaktu kampanye.Sayangnya penulis yakin, dalam waktu dekat sulit terjadi lompatan kesadaran massa dan elit.
Apakah kita menyerah? Tentunya kita akan mulai dengan soal uang mahar. Partai Politik haruslah secara tegas menyatakan bahwa pungutan yang dibebankan kepada para calon dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Seringkali Partai Politik memungut biaya adminsitrasi bagi para calon yang besarnya variatif. Dan bagi para calon hendaknya juga bisa berfikir demikian dalam kerangka memajukan kualitas demokrasi ditingkatan lokal. Maka sekali lagi katakan tidak untuk “Uang Mahar”
Hendaknya para calon bisa mengambil pelajaran dari praktek demokrasi pada Pilpres tempo hari. Presiden Jokowi-Jusuf Kalla justru mendapat bantuan pendanaan dari masyarakat dalam jumlah ratusan milyar. Jumlah tersebut merupakan akumulasi sumbangan ribuan masyarakat karena melihat Jokowi-Jusuf Kalla sosok yang bisa mewujudkan harapan mereka. Hal tersebut belum dihiting sumbangan tenaga dan atribut dari para relawan yang jika dikonversi dalam bentuk uang akan berjumlah besar sekali. Maka upaya demokrasi partisipatif bisa dimulai dari sekarang. Bukan tidak mungkin di Banten akan terjadi kepeloporan mengingat dalam sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan, masyarakat Banten selalu terdepan. Peristiwa pemberontakan petani Tahun 1888 dan pemberontakan terhadap kolonial Tahun 1926 menjadi catatan sejarah yang sulit untuk dilupakan.

PROFIL DEDY RAMANTA

Maret 19, 2014

Yuk ikutan gabung gerakan anti korupsi. 

Profile DEDY RAMANTA, SH

Maret 19, 2014

Brosur Kampanye Dedy Ramanta.
Jangan pilih koruptor dan kroninya

LOE GUE ANTI KORUPSI

Februari 14, 2014

Korupsi adalah kejahatan yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas. Perang melawan korupsi hari ini merupakan tugas sejarah yang harus diemban oleh seluruh warga bangsa

DEDY RAMANTA, SH. (CALON ANGGOTA DPRD PROVINSI BANTEN NasDem Nomer urut 1)

Februari 14, 2014

DEDY RAMANTA, SH. (CALON ANGGOTA DPRD PROVINSI BANTEN NasDem Nomer urut 1)